ns="">Nyeri adalah perasaan tidak menyenangkan yang dirasakan oleh penderita, sehingga keluhan tersebut merupakan tanda dan gejala yang tidak terlalu sulit dikenali secara klinis namun penyebabnya bervariasi. Dalam hal ini, hasil uji klinis dan perawatan yang pernah dilakukan mampu mengungkap lebih lanjut mekanisme biologik yang terjadi pada nyeri dan inflamasi. Dilaporkan 5 hasil uji klinis antara obat-obata NSAIDS, baik COX-1 maupun COX-2, serta 2 laporan kasus operasi impaksi gigi molar tiga mandibula dan pencabutan gigi dengan faktor penyulit, yaitu penderita gagal ginjal dan jantung.
ns="">
ns="">Dalam bidang kedokteran gigi akan selalu dihadapkan pada keluhan pasien yang bersumber dari gejala atau tanda-tanda yang mendorong penderita datang ke dokter gigi. Nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan penderita, sehingga dikenal berbagai obat yang bersifat simtomatik dengan fungsi utama mengurangi rasa sakit (analgetik). Analgetik biasanya mempunyai efek lain, seperti anti piretik dan anti inflamasi. Obat-obat analgetik anti inflamasi, terutama yang non steroid (NSAIDS) bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX), baik COX-1 maupun COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja. Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi. Banyaknya obat analgetik yang sudah beredar dengan spesifikasinya masing-masing, sehingga paling tidak akan cukup merepotkan kita sebagai klinisi untuk memilihnya. Oleh karena itu perlu dipikirkan analgetik apa yang harus diberikan sesuai dengan indikasi untuk kepentingan klinik di bidang kedokteran gigi.
ns="">
ns=""> <iframe allowtransparency="true" frameborder="0" height="60" hspace="0" marginwidth="0" marginheight="0" scrolling="no" vspace="0" width="468" id="aswift_2" name="aswift_2" style="left: 0px; position: absolute; top: 0px;"></iframe> ns="">Farmakodinamika Analgetik
ns="">Analgetik perlu diberikan jika ada keluhan nyeri. Di antara banyaknya preparat analgetik, preparat dengan aksi yang ringan adalah dari golongan anti piretik. Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol dan metamizol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi .
ns="">NSAIDS konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat memblok lebih banyak COX-1 daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika hanya enzim COX-2 yang terhambat, maka akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Day, 2000). Sedang menurut Vane (1996), enzim COX merupakan produk metabolisme dari asam arachidonat dan sangat berperan dalam berbagai bentuk inflamasi baik akut maupun kronik. Enzim ini terdapat dua isoform, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang berpengaruh pada platelet, mukosa lambung dan ginjal, sedangkan COX-2 berperan pada proses peradangan yang menimbulkan rasa nyeri.
ns=""> <iframe allowtransparency="true" frameborder="0" height="60" hspace="0" marginwidth="0" marginheight="0" scrolling="no" vspace="0" width="468" id="aswift_3" name="aswift_3" style="left: 0px; position: absolute; top: 0px;"></iframe> ns="">Farmakokinetika Analgetik
ns="">Untuk memperoleh efek analgetik yang optimal dari suatu obat, diperlukan beberapa kriteria atau sifat-sifat farmakokinetik sebagai berikut:
- ns="">Diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, dengan ketersediaan hayati absolut (100%).
- ns="">Terdistribusi secara cepat dan baik ke jaringan target dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi di organ-organ untuk mengurangi efek samping.
- ns="">Eleminasinya cepat, baik melalui hepar maupun ginjal untuk mencegah terjadinya penimbunan obat, khususnya pada penderita ginjal/ hepar.
- ns="">Tidak toksik (toksisitas minimal), sedikit memberi interkasi terhadap obat-obat lain yang kemungkinan harus diberikan bersamaan serta harus mempunyai indeks terapeutik yang sempit.
ns="">Efek Samping
ns="">Efek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat analgetik dapat terjadi dalam bentuk ringan maupun yang lebih serius. Pada umumnya manifestasi obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash, dan sebagainya dengan angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol, metamizol, dan ibuprofen, sedang pada aspirin lebih besar.
ns="">Efek samping aspirin terutama pada sistem gastrointestinal, berupa dispepsi, nyeri epigastrik, mual dan muntah hingga perdarahan lambung. Hal ini dapat dijelaskan, mengingat bahwa aspirin menghambat COX-1 lebih besar daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Berbeda dengan aspirin, paracetamol juga bersifat menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung oleh karena paracetamol hanya menghambat prostaglandin di pusat (hipotalamus), sehingga aman untuk gangguan lambung, ginjal, dan platelet.
ns="">Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan hepar, berupa peningkatan aktivitas aminotransferase plasma, sedang hepatitis salisilat umumnya terjadi jika kadar salisilat dalam plasma mencapai lebih dari 250 mcg/ ml. Mirip dengan aspirin, meskipun dari segi keamanan relatif lebih baik, paracetamol juga dapat menimbulkan efek samping berupa kerusakan pada hepar, terutama pada dosis yang tinggi sekitar 15 gram atau 250 mg/ kg. dan status gizi yang buruk atau pada penderita alkoholik. Efek samping dari asam mefenamat yang sering dijumpai adalah mual, diare, pusing, ruam kulit, leukopenia, dan anemia hemolitik (autoimun).
ns="">Metamizol meskipun belum banyak data yang dikemukakan sehubungan dengan kejadian efek samping pada hepar, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa efek samping metamizol relatif lebih ringan, seandainya ada biasanya karena diberikan bersama obat-obat yang lain.
ns="">Nimesulide mempunyai efek samping yang sangat minimal, baik pada platelet, lambung, dan ginjal karena obat ini termasuk selektif menghambat COX-2 yang berperan dalam proses peradangan serta hanya menghambat COX-1 dalam jumlah yang relatif kecil. Perbandingan antara pemakaian obat COX-2 dengan NSAID konvensional pada pasien dengan osteoarthritis selama 1 tahun membuktikan bahwa pada endoscopy terjadi penurunan nyata kejadian peptic ulcer pada pemakai obat COX-2. Demikian juga efek yang terjadi pada ginjal dan platelet, tidak menyebabkan suatu kerusakan.